Dekat

By Angela - June 29, 2020



Saya tidak tahu persis apakah ada definisi baku untuk frasa “orang dekat” atau tidak. Yang saya tahu, saya bisa menghitung jari ada berapa orang dalam kehidupan saya yang saya beri label “orang dekat”. Tentu sudah jelas bahwa kita tidak berbicara tentang dekat sebagai jarak fisik yang bisa dikur, melainkan dekat secara emosional. Kita bisa berinteraksi setiap hari, tapi belum tentu dekat secara emosional, contohnya dengan teman sekelas atau rekan kerja. Kita bisa saja tinggal seatap, tapi belum tentu memiliki kedekatan emosional, contohnya dengan keluarga. Kita bisa saja menjalin hubungan istimewa dengan seseorang, namun selama kita merasa berjalan sendirian, artinya kita tidak memiliki kedekatan emosional.

Lalu, apa indikator yang saya gunakan untuk mengukur kedekatan emosional?

Pertama, keterbukaan.
Setiap orang memiliki indikator yang berbeda-beda. Saya selaku orang yang lumayan tertutup dan menjunjung tinggi privasi, menggunakan keterbukaan untuk mengukur sejauh mana saya mempercayai seseorang. Bukankah keterbukaan muncul seiring dengan rasa percaya?

Kedua, isi pembicaraan.
Jika konteks pembicaraan terbatas pada gosip, isu-isu yang sedang berkembang, bertukar informasi tentang harga tas dan pakaian, saling memamerkan pencapaian, maka artinya tidak ada kedekatan emosional. Namun, apabila pembicaraan sudah sampai kepada meminta pertimbangan seseorang untuk pengambilan keputusan yang sangat penting, berkaitan dengan pilihan hidup, menceritakan dosa besar, aib, dan masalah pribadi, hingga menunjukkan emosi tanpa rasa canggung (menangis, gelisah, kasmaran, dan sebagainya), maka bisa dipastikan kita memiliki kedekatan emosional dengan orang tersebut, ditandai dengan pembicaraan yang mengalir apa adanya. Orang-orang menyebutnya deep conversation.

Ketiga, tindakan.
Mendatangi teman yang sedang yudisium meskipun jarak kampus saling berjauhan dan kamu sendiri sebenarnya sudah sangat lelah adalah bukti konkrit bahwa kamu memperjuangkan orang tersebut karena telah memiliki kedekatan emosional.

Lalu, bagaimana dengan kalimat yang menyatakan bahwa orang terdekatlah yang justru bisa memberikan luka yang teramat dalam? Sangat akurat.

Saya masih mengingat dengan jelas satu peristiwa yang sampai saat ini sangat membekas. "Orang dekat" yang saya anggap sebagai figur Ayah yang hebat untuk anak-anaknya, yang juga masih kerabat saya. Saya masih mengingat dengan baik setiap kata dan intonasi yang terucap saat saya melakukan pembicaraan serius dengannya, sekaligus berpamitan dan berterima kasih. Masih terngiang balasan saya yang hanya empat kalimat untuk mengimbangi pembicaraan yang sangat lama. Poin pembicaraan yang bisa saya simpulkan adalah bahwa selama ini saya menjadi beban baginya. Otak saya tidak bisa memproses kesimpulan tersebut hingga dua hari kemudian, saat saya menyadari bahwa dianggap sebagai beban oleh orang lain merupakan indikasi bahwa saya telah melakukan sebuah dosa besar. Saya menangis sejadi-jadinya, terlebih saat saya menceritakan hal tersebut kepada Ibu saya dan kepada dua orang sahabat. Semua perjuangan dan usaha saya untuk bertahan hidup dan memberikan balas jasa selama bertahun-tahun sama sekali tidak diperhitungkan dan justru dianggap sebagai beban. Saya tidak tahu dengan cara apa saya bisa memandang kejadian tersebut secara baik dan mengambil sisi positifnya. Belum lagi, kejadian ini bertepatan dengan penyesuaian saya di lingkungan kerja dan lingkungan tempat tinggal yang baru, serta hubungan asmara yang semakin tidak menemukan kejelasan. Beban yang bertumpuk-tumpuk membuat saya mengalami depresi. Saya tahu, saya terlalu membebani diri dengan menanggung semuanya seorang diri. Saya hanya merasa tidak ingin memperpanjang masalah, meskipun sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya sampaikan. Saya menyimpannya rapat-rapat. Dampaknya, saya menghabiskan setiap malam untuk menangis, menarik diri dari lingkungan sosial, berbicara seadanya, insecure terhadap orang-orang baru yang saya temui, bahkan berkaca-kaca dan ingin menangis saat kejadian tersebut muncul sekilas tanpa mengenal tempat dan situasi. I lost myself.

Beruntung, pekerjaan baru saya menuntut untuk diperhatikan. Saya semakin hari semakin sibuk dan mulai teralihkan, meskipun setiap malam saya harus mengimbanginya dengan meditasi. Beberapa waktu kemudian, saya mengumpulkan kekuatan untuk berinteraksi kembali dalam sebuah acara besar, meskipun sangat canggung. Saya berusaha mengumpulkan pikiran positif bahwa mungkin saja depresi tersebut timbul hanya karena kondisi saya saat itu yang tidak siap dengan pembicaraan serius, terlebih karena saya kelelahan dan kurang tidur. Namun, yang saya dapati justru tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Saya tidak hanya mendapati sepasang mata yang memandang saya sebagai beban, tapi justru menemukan semakin banyak mata dengan pandangan tajam, seolah saya adalah pendosa berat. Tatapan dan bahasa tubuh yang membuat saya ingin menghilang dari tempat tersebut sesegera mungkin, atau menggali tanah sedalam-dalamnya untuk bersembunyi. Saya semakin tertekan. Hari-hari berikutnya saya hadapi dengan depresi yang sejadi-jadinya, sampai pada akhirnya satu-satunya cara terbaik menurut saya adalah dengan menghilang dan tidak berinteraksi lagi, agar pikiran saya tidak mengarahkan saya kepada sumber depresi yang sama.

Saya pergi.

Selepas mengambil keputusan tersebut, perlahan saya merasa sembuh. Perlahan saya merasa terbebaskan. Perlahan saya bisa menemukan diri saya kembali. Perlahan saya bisa menemukan kedamaian, meskipun dengan beban baru sebagai orang yang tidak tahu diri.
Saya kalah.
Tapi tak mengapa.
I’ve heal my soul and it’s more than enough.
Sampai saat saya menuliskan ini, saya sembuh.

  • Share:

You Might Also Like

0 Comment