Saya tidak tahu persis apakah ada definisi
baku untuk frasa “orang dekat” atau tidak. Yang saya tahu, saya bisa menghitung
jari ada berapa orang dalam kehidupan saya yang saya beri label “orang dekat”. Tentu
sudah jelas bahwa kita tidak berbicara tentang dekat sebagai jarak fisik yang
bisa dikur, melainkan dekat secara emosional. Kita bisa berinteraksi setiap
hari, tapi belum tentu dekat secara emosional, contohnya dengan teman sekelas
atau rekan kerja. Kita bisa saja tinggal seatap, tapi belum tentu memiliki
kedekatan emosional, contohnya dengan keluarga. Kita bisa saja menjalin
hubungan istimewa dengan seseorang, namun selama kita merasa berjalan
sendirian, artinya kita tidak memiliki kedekatan emosional.
Lalu, apa indikator yang saya gunakan untuk
mengukur kedekatan emosional?
Pertama, keterbukaan.
Setiap orang memiliki indikator yang
berbeda-beda. Saya selaku orang yang lumayan tertutup dan menjunjung tinggi
privasi, menggunakan keterbukaan untuk mengukur sejauh mana saya mempercayai seseorang.
Bukankah keterbukaan muncul seiring dengan rasa percaya?
Kedua, isi pembicaraan.
Jika konteks pembicaraan terbatas pada gosip, isu-isu yang sedang berkembang, bertukar informasi tentang harga tas dan pakaian, saling memamerkan pencapaian, maka artinya tidak ada kedekatan emosional. Namun, apabila pembicaraan sudah sampai kepada meminta pertimbangan seseorang untuk pengambilan keputusan yang sangat penting, berkaitan dengan pilihan hidup, menceritakan dosa besar, aib, dan masalah pribadi, hingga menunjukkan emosi tanpa rasa canggung (menangis, gelisah, kasmaran, dan sebagainya), maka bisa dipastikan kita memiliki kedekatan emosional dengan orang tersebut, ditandai dengan pembicaraan yang mengalir apa adanya. Orang-orang menyebutnya deep conversation.
Jika konteks pembicaraan terbatas pada gosip, isu-isu yang sedang berkembang, bertukar informasi tentang harga tas dan pakaian, saling memamerkan pencapaian, maka artinya tidak ada kedekatan emosional. Namun, apabila pembicaraan sudah sampai kepada meminta pertimbangan seseorang untuk pengambilan keputusan yang sangat penting, berkaitan dengan pilihan hidup, menceritakan dosa besar, aib, dan masalah pribadi, hingga menunjukkan emosi tanpa rasa canggung (menangis, gelisah, kasmaran, dan sebagainya), maka bisa dipastikan kita memiliki kedekatan emosional dengan orang tersebut, ditandai dengan pembicaraan yang mengalir apa adanya. Orang-orang menyebutnya deep conversation.
Ketiga, tindakan.
Mendatangi teman yang sedang yudisium meskipun jarak kampus saling berjauhan dan kamu sendiri sebenarnya sudah sangat lelah adalah bukti konkrit bahwa kamu memperjuangkan orang tersebut karena telah memiliki kedekatan emosional.
Mendatangi teman yang sedang yudisium meskipun jarak kampus saling berjauhan dan kamu sendiri sebenarnya sudah sangat lelah adalah bukti konkrit bahwa kamu memperjuangkan orang tersebut karena telah memiliki kedekatan emosional.
Lalu, bagaimana dengan kalimat yang menyatakan
bahwa orang terdekatlah yang justru bisa memberikan luka yang teramat dalam?
Sangat akurat.
Saya masih mengingat dengan jelas satu
peristiwa yang sampai saat ini sangat membekas. "Orang dekat" yang saya anggap
sebagai figur Ayah yang hebat untuk anak-anaknya, yang juga masih kerabat saya.
Saya masih mengingat dengan baik setiap kata dan intonasi yang terucap saat
saya melakukan pembicaraan serius dengannya, sekaligus berpamitan dan berterima
kasih. Masih terngiang balasan saya yang hanya empat kalimat untuk mengimbangi
pembicaraan yang sangat lama. Poin pembicaraan yang bisa saya simpulkan adalah
bahwa selama ini saya menjadi beban baginya. Otak saya tidak bisa memproses
kesimpulan tersebut hingga dua hari kemudian, saat saya menyadari bahwa
dianggap sebagai beban oleh orang lain merupakan indikasi bahwa saya telah
melakukan sebuah dosa besar. Saya menangis sejadi-jadinya, terlebih saat saya
menceritakan hal tersebut kepada Ibu saya dan kepada dua orang sahabat. Semua
perjuangan dan usaha saya untuk bertahan hidup dan memberikan balas jasa
selama bertahun-tahun sama sekali tidak diperhitungkan dan justru dianggap
sebagai beban. Saya tidak tahu dengan cara apa saya bisa memandang kejadian
tersebut secara baik dan mengambil sisi positifnya. Belum lagi, kejadian ini
bertepatan dengan penyesuaian saya di lingkungan kerja dan lingkungan tempat
tinggal yang baru, serta hubungan asmara yang semakin tidak menemukan kejelasan.
Beban yang bertumpuk-tumpuk membuat saya mengalami depresi. Saya tahu, saya
terlalu membebani diri dengan menanggung semuanya seorang diri. Saya hanya
merasa tidak ingin memperpanjang masalah, meskipun sebenarnya masih banyak hal
yang ingin saya sampaikan. Saya menyimpannya rapat-rapat. Dampaknya, saya menghabiskan
setiap malam untuk menangis, menarik diri dari lingkungan sosial, berbicara
seadanya, insecure terhadap
orang-orang baru yang saya temui, bahkan berkaca-kaca dan ingin menangis saat
kejadian tersebut muncul sekilas tanpa mengenal tempat dan situasi. I lost myself.
Beruntung, pekerjaan baru saya menuntut
untuk diperhatikan. Saya semakin hari semakin sibuk dan mulai teralihkan,
meskipun setiap malam saya harus mengimbanginya dengan meditasi. Beberapa waktu
kemudian, saya mengumpulkan kekuatan untuk berinteraksi kembali dalam sebuah
acara besar, meskipun sangat canggung. Saya berusaha mengumpulkan pikiran
positif bahwa mungkin saja depresi tersebut timbul hanya karena kondisi saya
saat itu yang tidak siap dengan pembicaraan serius, terlebih karena saya
kelelahan dan kurang tidur. Namun, yang saya dapati justru tidak sesuai dengan
yang saya harapkan. Saya tidak hanya mendapati sepasang mata yang memandang
saya sebagai beban, tapi justru menemukan semakin banyak mata dengan pandangan tajam,
seolah saya adalah pendosa berat. Tatapan dan bahasa tubuh yang membuat saya
ingin menghilang dari tempat tersebut sesegera mungkin, atau menggali tanah
sedalam-dalamnya untuk bersembunyi. Saya semakin tertekan. Hari-hari berikutnya
saya hadapi dengan depresi yang sejadi-jadinya, sampai pada akhirnya
satu-satunya cara terbaik menurut saya adalah dengan menghilang dan tidak
berinteraksi lagi, agar pikiran saya tidak mengarahkan saya kepada sumber
depresi yang sama.
Saya pergi.
Selepas mengambil keputusan tersebut, perlahan
saya merasa sembuh. Perlahan saya merasa terbebaskan. Perlahan saya bisa
menemukan diri saya kembali. Perlahan saya bisa menemukan kedamaian, meskipun
dengan beban baru sebagai orang yang tidak tahu diri.
Saya kalah.
Tapi tak mengapa.
I’ve
heal my soul and it’s more than enough.
Sampai saat saya menuliskan ini, saya
sembuh.
0 Comment