Tidak ada yang
berubah secara signifikan sejak sepuluh tahun yang lalu. Tahi lalat masih
berada pada posisinya, masih berwarna hitam pekat, hanya mengalami penambahan
ukuran. Saat SMA, saya menyukai pelajaran Biologi, mengikuti olimpiade dan
mewakili Kabupaten hingga ke tingkat Provinsi, kuliah di Jurusan Biologi, dan
berakhir menjadi seorang guru biologi. Sekali lagi, tidak ada yang berubah
secara signifikan. Selain biologi, saya juga berprestasi di perlomba Bahasa
Inggris. Saya menyenangi pelajaran seni dalam bentuk apapun, hingga suatu hari
saya memberanikan diri mengikuti audisi Paduan Suara Sekolah, namun ditolak. Jadi,
saya melanjutkan perjuangan saat kuliah dan berhasil menjadi anggota Paduan Suara
Kampus. Saya menyenangi Fisika, Kimia, Sejarah, Pkn, Bahasa Jerman, Bahasa
Indonesia, Sosiologi, Geografi, tapi sama sekali tidak tertarik dengan Matematika
dan Olahraga. Saya senang saat menjadi Bendahara OSIS, Ketua KSK, dan pengurus
English Club. Sungguh jiwa ambisius yang hakiki di masa yang gemilang. Lalu,
bagaimana dengan masa patah hati terhebat?
Hampir semua
orang pernah mengalami patah hati, tak terkecuali saya. Karena saya seorang
perempuan, sudah pasti yang membuat saya patah-sepatah-patahnya adalah sosok
lelaki. Bukan mantan pacar, bukan mantan gebetan, bukan pula sahabat, melainkan
Bapak saya sendiri. Banyak yang tidak mengetahui hal ini. Back to 2011, I had experiencing the worst moment of my life. Sudah
cukup lama orang tua saya tidak akur dan terjadilah puncak kemarahan mereka di
depan mata saya dan adik saya. Kami menangis tapi seolah dianggap tidak ada.
Selang waktu berikutnya, adik saya sakit sehingga Ibu harus membawanya berobat
cukup jauh. Tinggallah saya bersama Bapak di rumah, suatu sore yang hujan dan
berangin. Saya berada di dalam kamar sedangkan Bapak di ruang tamu. Tiba-tiba,
saya mendengar bunyi yang sangat keras, badan saya tertindih sesuatu yang amat
berat, dan saya melihat Bapak berusaha menyelamatkan saya. Saya terseret tanpa
mengetahui apa yang terjadi, hingga Bapak membawa saya ke luar rumah menuju
tempat yang lebih tinggi. Saat itulah saya menyadari, pohon cemara gunung setinggi
20 meter di depan rumah tumbang menimpa rumah kami. Bapak
memeluk saya dan itulah kali terakhir saya merasakan pelukan beliau. Tepat
sebelum kejadian yang lebih mengenaskan terjadi.
Saya benar-benar
tidak mengingat berapa lama setelah peristiwa pohon tumbang tersebut,
sampai akhirnya Bapak memutuskan untuk meninggalkan kami di saat kondisi rumah
benar-benar hancur. Ia pergi tanpa meninggalkan apapun. Saya hanya bisa
menyaksikan Ibu saya menangis sesegukan, menelpon saudaranya dikejauhan dan
menceritakan apa yang terjadi. Saya menyaksikan kehancuran seorang wanita yang hancur-sehancur-hancurnya pada malam itu dan entah mengapa hati saya juga ikut hancur.
Tentu saja hal ini menorehkan luka yang sangat dalam, di batin maupun pikiran
saya. I have trust issue to any kind of
creature called “man”, dibuktikan oleh kehadiran empat mantan pacar dengan
durasi pacaran terlama selama 8 bulan. Ini adalah trauma masa lalu yang tidak
bisa saya kendalikan hingga saat ini karena telah tertanam di alam bawah sadar
saya. I don’t know how to deal with
unconscious mind and psychological term. Sejauh ini, saya hanya bisa
berkesimpulan bahwa kelak, laki-laki yang saya nikahi adalah orang yang hebat
karena mampu menaklukkan kondisi saya yang satu ini, meskipun di usia
seperempat abad saya sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan. This is how far I can go for a relationship
dan remeh-temehnya. All I know, I am
falling deeper to myself day by day.
Kembali ke
peristiwa patah hati. Berselang tiga tahun setelah kepergian Bapak dari rumah,
saya mengalami patah hati yang kedua kalinya begitu mendengar kabar kematian
Bapak. Bercengkerama di kantin kampus dengan kondisi riang, lalu berubah 360
derajat menuju kehancuran. Semua serasa terjadi dengan sekejap. Di bus menuju
rumah-seorang diri-saya mengingat kembali momen terakhir saya dengan Bapak.
Beliau menelpon saya subuh-subuh, menanyakan kondisi saya karena memimpikan
saya sakit. Saya jawab dengan ketus karena dua hal. Pertama karena saya
membenci Bapak, kedua karena saya tidak suka dibangunkan dengan tiba-tiba.
Mengingat peristiwa itu, saya kembali menangis. Setibanya di rumah, saya
menangis di pelukan Ibu. Saya tidak langsung memeluk jenazah Bapak. Sudah jelas
bahwa kami tidak tinggal bersama sejak beliau memutuskan pergi dan hidup di
rumah barunya yang sampai detik ini belum pernah saya kunjungi. Bapak lalu disemayamkan
di rumah saudaranya. Tiba di tempat persemayaman, saya kembali menangis. Hingga
pada hari pemakaman, saya tidak menangis sama sekali. Saya justru heran
menyaksikan orang lain yang menangis sejadi-jadinya melepas kepergian Bapak.
Belakangan saya
menyadari bahwa Bapak telah berjasa bagi banyak orang. Mengawali langkahnya
sebagai Sarjana Hukum keluaran salah satu kampus negeri di Makassar, disumpah
dan menjadi pengacara praktek, melanjutkan karirnya sebagai salah satu pengelola
Koperasi Simpan Pinjam, melangkah ke jenjang yang lebih tinggi setelah terpilih
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama dua periode, dan
menurut saya, selama inilah Bapak telah memberikan kontribusi terbaiknya bagi
banyak orang. Ia telah mengangkat derajat keluarga dan membantu orang-orang
yang tidak berhenti mendatangi rumah kami dengan menenteng apa yang mereka
sebut sebagai “proposal”. Anak kelas 2 SMA seperti saya mana mengerti urusan
orang-orang tersebut dengan Bapak. Yang saya tahu, Bapak dibutuhkan oleh orang
banyak. Mereka memuja Bapak, menyediakan tempat terbaik saat Bapak berkunjung
ke acara tertentu dengan label VIP, yang juga sempat saya nikmati. Benar-benar
sosok kebanggaan keluarga. Bapak kembali melanjutkan perjuangan untuk periode
ketiganya. Tapi, apakah itulah adalah jalan terbaik yang Bapak pilih? Menurutku
tidak. Mengutip kalimat Soe Hok Gie, politik tai kucing. Dunia politik banyak
mengubah kehidupan Bapak, membuatnya harus berjuang lebih ekstra, menanggung
beban “kehormatan” keluarga besar, melawan saingan politik yang memberikan
perlakuan keji di luar nalar, hingga memengaruhi kehidupan rumah tangganya. Bapak
linglung, bapak terjebak di dalam lingkaran setan sampai ajal menjemput. Selama
upacara pemakaman berlangsung, saya mencari orang-orang dekatnya yang berada di
dalam lingkaran politik, tapi hanya menemukan beberapa. Kemana yang lain?
Entahlah. Benar-benar tai kucing. Soe Hok Gie lagi-lagi benar. Sampai akhir
hayatnya, Bapak tidak benar-benar menikmati hasil jerih payahnya. Ia sendiri
melabeli dirinya sebagai Anggota DPRD termiskin. Tidak sempat pula melunasi
janjinnya untuk mengajak saya jalan-jalan ke Bali. Menyadari hal ini, saya
tidak lagi membenci Bapak. Saya kasihan.
Satu hal yang
semakin mendewasakan saya adalah kenyataan hidup yang harus ditelan bulat-bulat. I realize that I am mature enough, when I
know how to deal with reality. Menyadari sepenuhnya bahwa semua memang
harus terjadi sebagaimana mestinya. Just
by this way, I figured out that nothing was really broken. It is just the way
it should be and I learn this a lot from my mom, the strongest woman in the
entire planet. Peristiwa patah hati ini telah menempa saya menjadi orang
yang kuat dan berani, pun bekal-bekal prestasi semasa SMA yang senantiasa
memacu saya menjadi sosok yang berpengetahuan. Saya mengetahui bahwa semasa
hidup saya senantiasa dikelilingi oleh orang-orang baik yang menemani saya menikmati
hidup, hingga saya terhindar dari label broken-home
dan tak pernah sekalipun mengalami depresi karenanya.
Sekarang, di
usia seperempat abad, saya memulai langkah untuk mewujudkan diri saya di masa
yang akan datang, dimulai dengan keberanian menulis.
Di usia
seperempat abad, saya telah berdamai dengan masa lalu.
Di usia
seperempat abad, saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk Ibu, untuk adik
saya, and mostly for myself, for my own happiness.
Di usia
seperempat abad, saya tahu saya ingin seperti apa sepuluh tahun yang akan datang.
Di usia
seperempat abad, saya mengerti apa itu proses.
Di usia
seperempat abad, saya memahami makna dari “you
are what you think”.
Di usia
seperempat abad, saya memaknai sukses sebagai kondisi dimana saya bisa
melampaui pencapaian kedua orang tua saya (which
is susah setengah mampus).
Di usia seperempat abad, saya menerapkan "life to the fullest"
Di usia seperempat abad, saya menerapkan "life to the fullest"
Di usia
seperempat abad, saya menyadari nothing
is broken.
Nothing is actually broken.
0 Comment