Masa Gemilang dan Patah Hati Terhebat

By Angela - June 27, 2020


Tidak ada yang berubah secara signifikan sejak sepuluh tahun yang lalu. Tahi lalat masih berada pada posisinya, masih berwarna hitam pekat, hanya mengalami penambahan ukuran. Saat SMA, saya menyukai pelajaran Biologi, mengikuti olimpiade dan mewakili Kabupaten hingga ke tingkat Provinsi, kuliah di Jurusan Biologi, dan berakhir menjadi seorang guru biologi. Sekali lagi, tidak ada yang berubah secara signifikan. Selain biologi, saya juga berprestasi di perlomba Bahasa Inggris. Saya menyenangi pelajaran seni dalam bentuk apapun, hingga suatu hari saya memberanikan diri mengikuti audisi Paduan Suara Sekolah, namun ditolak. Jadi, saya melanjutkan perjuangan saat kuliah dan berhasil menjadi anggota Paduan Suara Kampus. Saya menyenangi Fisika, Kimia, Sejarah, Pkn, Bahasa Jerman, Bahasa Indonesia, Sosiologi, Geografi, tapi sama sekali tidak tertarik dengan Matematika dan Olahraga. Saya senang saat menjadi Bendahara OSIS, Ketua KSK, dan pengurus English Club. Sungguh jiwa ambisius yang hakiki di masa yang gemilang. Lalu, bagaimana dengan masa patah hati terhebat?

Hampir semua orang pernah mengalami patah hati, tak terkecuali saya. Karena saya seorang perempuan, sudah pasti yang membuat saya patah-sepatah-patahnya adalah sosok lelaki. Bukan mantan pacar, bukan mantan gebetan, bukan pula sahabat, melainkan Bapak saya sendiri. Banyak yang tidak mengetahui hal ini. Back to 2011, I had experiencing the worst moment of my life. Sudah cukup lama orang tua saya tidak akur dan terjadilah puncak kemarahan mereka di depan mata saya dan adik saya. Kami menangis tapi seolah dianggap tidak ada. Selang waktu berikutnya, adik saya sakit sehingga Ibu harus membawanya berobat cukup jauh. Tinggallah saya bersama Bapak di rumah, suatu sore yang hujan dan berangin. Saya berada di dalam kamar sedangkan Bapak di ruang tamu. Tiba-tiba, saya mendengar bunyi yang sangat keras, badan saya tertindih sesuatu yang amat berat, dan saya melihat Bapak berusaha menyelamatkan saya. Saya terseret tanpa mengetahui apa yang terjadi, hingga Bapak membawa saya ke luar rumah menuju tempat yang lebih tinggi. Saat itulah saya menyadari, pohon cemara gunung setinggi 20 meter di depan rumah tumbang menimpa rumah kami. Bapak memeluk saya dan itulah kali terakhir saya merasakan pelukan beliau. Tepat sebelum kejadian yang lebih mengenaskan terjadi.

Saya benar-benar tidak mengingat berapa lama setelah peristiwa pohon tumbang tersebut, sampai akhirnya Bapak memutuskan untuk meninggalkan kami di saat kondisi rumah benar-benar hancur. Ia pergi tanpa meninggalkan apapun. Saya hanya bisa menyaksikan Ibu saya menangis sesegukan, menelpon saudaranya dikejauhan dan menceritakan apa yang terjadi. Saya menyaksikan kehancuran seorang wanita yang hancur-sehancur-hancurnya pada malam itu dan entah mengapa hati saya juga ikut hancur. Tentu saja hal ini menorehkan luka yang sangat dalam, di batin maupun pikiran saya. I have trust issue to any kind of creature called “man”, dibuktikan oleh kehadiran empat mantan pacar dengan durasi pacaran terlama selama 8 bulan. Ini adalah trauma masa lalu yang tidak bisa saya kendalikan hingga saat ini karena telah tertanam di alam bawah sadar saya. I don’t know how to deal with unconscious mind and psychological term. Sejauh ini, saya hanya bisa berkesimpulan bahwa kelak, laki-laki yang saya nikahi adalah orang yang hebat karena mampu menaklukkan kondisi saya yang satu ini, meskipun di usia seperempat abad saya sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan. This is how far I can go for a relationship dan remeh-temehnya. All I know, I am falling deeper to myself day by day.

Kembali ke peristiwa patah hati. Berselang tiga tahun setelah kepergian Bapak dari rumah, saya mengalami patah hati yang kedua kalinya begitu mendengar kabar kematian Bapak. Bercengkerama di kantin kampus dengan kondisi riang, lalu berubah 360 derajat menuju kehancuran. Semua serasa terjadi dengan sekejap. Di bus menuju rumah-seorang diri-saya mengingat kembali momen terakhir saya dengan Bapak. Beliau menelpon saya subuh-subuh, menanyakan kondisi saya karena memimpikan saya sakit. Saya jawab dengan ketus karena dua hal. Pertama karena saya membenci Bapak, kedua karena saya tidak suka dibangunkan dengan tiba-tiba. Mengingat peristiwa itu, saya kembali menangis. Setibanya di rumah, saya menangis di pelukan Ibu. Saya tidak langsung memeluk jenazah Bapak. Sudah jelas bahwa kami tidak tinggal bersama sejak beliau memutuskan pergi dan hidup di rumah barunya yang sampai detik ini belum pernah saya kunjungi. Bapak lalu disemayamkan di rumah saudaranya. Tiba di tempat persemayaman, saya kembali menangis. Hingga pada hari pemakaman, saya tidak menangis sama sekali. Saya justru heran menyaksikan orang lain yang menangis sejadi-jadinya melepas kepergian Bapak.

Belakangan saya menyadari bahwa Bapak telah berjasa bagi banyak orang. Mengawali langkahnya sebagai Sarjana Hukum keluaran salah satu kampus negeri di Makassar, disumpah dan menjadi pengacara praktek, melanjutkan karirnya sebagai salah satu pengelola Koperasi Simpan Pinjam, melangkah ke jenjang yang lebih tinggi setelah terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama dua periode, dan menurut saya, selama inilah Bapak telah memberikan kontribusi terbaiknya bagi banyak orang. Ia telah mengangkat derajat keluarga dan membantu orang-orang yang tidak berhenti mendatangi rumah kami dengan menenteng apa yang mereka sebut sebagai “proposal”. Anak kelas 2 SMA seperti saya mana mengerti urusan orang-orang tersebut dengan Bapak. Yang saya tahu, Bapak dibutuhkan oleh orang banyak. Mereka memuja Bapak, menyediakan tempat terbaik saat Bapak berkunjung ke acara tertentu dengan label VIP, yang juga sempat saya nikmati. Benar-benar sosok kebanggaan keluarga. Bapak kembali melanjutkan perjuangan untuk periode ketiganya. Tapi, apakah itulah adalah jalan terbaik yang Bapak pilih? Menurutku tidak. Mengutip kalimat Soe Hok Gie, politik tai kucing. Dunia politik banyak mengubah kehidupan Bapak, membuatnya harus berjuang lebih ekstra, menanggung beban “kehormatan” keluarga besar, melawan saingan politik yang memberikan perlakuan keji di luar nalar, hingga memengaruhi kehidupan rumah tangganya. Bapak linglung, bapak terjebak di dalam lingkaran setan sampai ajal menjemput. Selama upacara pemakaman berlangsung, saya mencari orang-orang dekatnya yang berada di dalam lingkaran politik, tapi hanya menemukan beberapa. Kemana yang lain? Entahlah. Benar-benar tai kucing. Soe Hok Gie lagi-lagi benar. Sampai akhir hayatnya, Bapak tidak benar-benar menikmati hasil jerih payahnya. Ia sendiri melabeli dirinya sebagai Anggota DPRD termiskin. Tidak sempat pula melunasi janjinnya untuk mengajak saya jalan-jalan ke Bali. Menyadari hal ini, saya tidak lagi membenci Bapak. Saya kasihan.

Satu hal yang semakin mendewasakan saya adalah kenyataan hidup yang harus ditelan bulat-bulat. I realize that I am mature enough, when I know how to deal with reality. Menyadari sepenuhnya bahwa semua memang harus terjadi sebagaimana mestinya. Just by this way, I figured out that nothing was really broken. It is just the way it should be and I learn this a lot from my mom, the strongest woman in the entire planet. Peristiwa patah hati ini telah menempa saya menjadi orang yang kuat dan berani, pun bekal-bekal prestasi semasa SMA yang senantiasa memacu saya menjadi sosok yang berpengetahuan. Saya mengetahui bahwa semasa hidup saya senantiasa dikelilingi oleh orang-orang baik yang menemani saya menikmati hidup, hingga saya terhindar dari label broken-home dan tak pernah sekalipun mengalami depresi karenanya. 

Sekarang, di usia seperempat abad, saya memulai langkah untuk mewujudkan diri saya di masa yang akan datang, dimulai dengan keberanian menulis.
Di usia seperempat abad, saya telah berdamai dengan masa lalu.
Di usia seperempat abad, saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk Ibu, untuk adik saya, and mostly for myself, for my own happiness.
Di usia seperempat abad, saya tahu saya ingin seperti apa sepuluh tahun yang akan datang.
Di usia seperempat abad, saya mengerti apa itu proses.
Di usia seperempat abad, saya memahami makna dari “you are what you think”.
Di usia seperempat abad, saya memaknai sukses sebagai kondisi dimana saya bisa melampaui pencapaian kedua orang tua saya (which is susah setengah mampus).
Di usia seperempat abad, saya menerapkan "life to the fullest"
Di usia seperempat abad, saya menyadari nothing is broken.
Nothing is actually broken.

  • Share:

You Might Also Like

0 Comment