Dunia fashion
semakin menggila. Menawarkan sejuta model dan bentuk pakaian yang unik, menarik
dan tercabik. Bagaimana tidak, pakaian tersebut dibentuk sedemikian rupa
sehingga pemakainya menjadi pusat perhatian. Dirobek sana-sini, terlihat
compang-camping namun modis, sengaja dibuat berlubang agar memperlihatkan sisi
tubuh tertentu. Semua ini dipersembahkan bagi para perempuan. Memenuhi hasrat
akan eksistensi dan atensi dari kaum adam yang seketika mengalami turbulensi oleh
karenanya. Tidak ada yang salah selama para konsumen memiliki duit, kan? Buat
apa pula mencampuri urusan berpakaian orang lain. Toh, kalau dia memakai bikini
sekalipun, tak akan mengganggu pribadi ini. Ini bukan pula masalah kecemburuan
perempuan yang satu terhadap perempuan lainnya karena ketidakmampuan menyaingi
kemolekan satu-sama lain. Ini sama sekali bukan masalahnya.
Yang jadi
masalah adalah ketika hasrat memperoleh atensi ini dibawa ke dalam kehidupan
menggereja.
Tengoklah
sejenak orang di kiri-kananmu, atau depan-belakangmu, atau yang melintas
sekejap dan sempat tertangkap oleh matamu. Layakkah mereka datang beribadah
dengan pakaian erotis nan mengundang itu?! Jangankan pria, saya sebagai seorang
wanita pun merasa malu melihat kondisi para perempuan yang berpakaian namun
seakan telanjang, dengan percaya diri melintas di depan bait Allah yang kudus.
Sudah merasa kuduskah mereka dengan segenap aksesoris cabul yang melekat di
badan? Kecelakaan berpikir membuat orang-orang ini tidak lagi bisa membedakan cara berpakaian yang sopan dan tidak. Benar-benar kacau.
Maaf, saya tidak
berniat menghakimi. Saya pun sama sekali tidak menganggap diri saya
kudus-sekudus-kudusnya dibanding mereka. Hanya saja, perilaku yang mereka
tunjukkan membuat saya malu dan muak. Suatu hari, seorang teman saya yang
nonkristiani bertanya,
“kenapa sih
orang Kristen kalau ke gereja kebanyakan berpakaian minim dan seksi? Apakah itu
tidak apa-apa?”
Saya tidak tahu
harus menjawab apa. Saya K.O.
Seseorang
menilai sesuatu dengan melihat apa yang ada pada dirinya terlebih dahulu
sebagai perbandingan. Otomatis, kaum nonkristiani akan membandingkan bagaimana
mereka diharuskan untuk berpakaian sebaik mungkin untuk menutupi aurat atau hal
yang tidak seharusnya dilihat oleh lawan jenis yang jelas-jelas tidak berhak
atasnya. Menjaga kesucian, menjaga kemurnian. Iya, budaya timur. Ingatlah, kita
hidup di tempat yang sangat kental dengan budaya ketimuran. Jadi, berhentilah
bertingkah kebarat-baratan. Berhentilah merasa bangga mengenakan produk yang justru merusak citra kaum kristiani karena tidak digunakan pada
waktu dan tempat yang tepat.
Ke gereja
mengenakan pakaian minim, untuk apa? Mau ditunjukkan kepada siapa anggota tubuh
itu? Pastor kah, Frater kah, para misdinar kah, atau siapa? Atau ingin
membandingkan tubuh itu dengan tubuh Kristus?! Saya hanya tidak habis pikir,
kaum hawa yang bertingkah demikian adalah orang dewasa. Orang yang dari segi
kematangan pemikiran harusnya sudah pandai menempatkan diri. Kapan harus
mengenakan pakaian olahraga, kapan harus memakai daster, kapan harus memakai
kebaya dan kapan harus berpakaian minim. Silahkana, pakailah sesukamu, hanya
saja jangan ke gereja. Sekali lagi saya tidak berniat untuk menggurui. Saya
hanya prihatin melihat kondisi ini, bahwa kita telah mecoreng nama baik kita
sendiri, mencoreng pandangan orang tentang kaum kristiani dan mecoreng
kekudusan Allah. Membuat orang banyak men-generalisir bahwa orang krisitiani
hobi berpakaian minim saat beribadah.
Bayangkan,
sepanjang perjalanan dari rumah menuju gereja, pasti ada-ada saja orang yang
memperhatikan. Bagaimana pandangan mereka. Mungkin sebagian orang yang membaca
ini akan berpikir “untuk apa memedulikan pendapat orang lain”. Jika menyangkut pribadi, lakukanlah sesuka hati. Masalahnya, kita sedang membahas identitas sebagai umat kristiani yang ikut terbawa-bawa oleh tingkah segelintir orang, terlebih karena hal ini menyangkut prosesi ibadah dimana kita seharusnya membersihkan diri dari dosa, bukan sebaliknya.
Saya pernah
suatu waktu berkumpul bersama teman-teman kaum muda seusai beribadah, yang
mayoritasnya adalah laki-laki. Mungkin karena kekurangan bahan pembicaraan,
mereka malah membicarakan hal-hal yang memalukan untuk didengar. Mereka
bergantian melontarkan ungkapan-ungkapan dan komentar setiap kali melihat
perempuan yang masuk maupun keluar gereja, yang menurut mereka ‘menarik
perhatian’ karena memakai pakaian yang minim. Terlepas dari siapa kita, Kristen
atau bukan, kau adam secara alamiah memang memiliki naluri dan ketertarikan
untuk hal-hal seperti itu. Bagaimana tanggapan orang-orang secara umum
kemudian?
Ayolah, saya lagi
dan lagi tidak ingin terlihat paling benar. Saya hanya mencoba membuka mata
kita semua akan hal ini. Toh, tidak ada satupun gambar Bunda Maria ataupun para
Santa yang mengenakan pakaian minim, kemudian dipajang di gereja. Tidak ada.
Justru dari merekalah kita bisa bercermin, bagaimana sebaiknya kita menghadap
Tuhan. Berpakaian rapi dan sopan, mengenakan gaun dan kemeja yang menjaga
harkat, martabat dan keanggunan seorang perempuan. Ini menghadap Tuhan loh.
Masa kita dengan bangganya datang ke hadirat tuhan dengan bentuk kedosaan kita?
Berpakaian minim
sah-sah saja, selama dikenakan pada tempatnya. Jalan-jalan ke mall, hang out,
berwisata, jogging, berenang, di kamar tidur, dan sebagainya. Ada begitu banyak opsi tempat untuk melampiaskan kegemaran berpakaian minim. Lalu, kenapa harus di Gereja?
0 Comment